Secangkir Senja Untuk Sore #2 (ending)

Tiga bulan berlalu begitu saja. Meninggalkan jejak-jejak telapak kaki di padang pasir, Kairo. Terik membakar siapa saja yang tinggal di dalamnya. Kairo rasanya semakin panas dari tahun ke tahun. Namun kenangan indah di negeri Al-Azhar ini, seolah merekat tak mau pergi.

Arial sudah menyandang Master of Al-Qur’an dengan predikat mumtaz. Kini ia sedang mendalami ilmu tafsir Al-Qur’an yang tertinggal beberapa kali, sebelum ia terbang kembali ke tanah air.

Arial memandang Sungai Nil yang keemasan pada petang. Rasanya baru kemarin ibunya menangis hingga tergugu, untuk melepaskan Arial sendiri di negeri orang. Namun ternyata, kini ia sudah tiba pada akhir perjumpaannya dengan Kairo. Ia pasti akan sangat merindukan negeri ini. Negeri yang banyak memberikannya pelajaran dalam pengalaman hidup yang pernah ia jelajah.

Arial merogoh sakunya. Mengeluarkan Nokia N73 yang kadang suka kehilangan sinyal di saat-saat yang tidak tepat. Tak banyak waktu baginya untuk pergi ke toko elektronik dan mengganti handphone pemberian Sarah itu. Meski uang pada tabungannya, seolah tidak pernah habis barang sepeser pun.

Kini Arial mengenakan kacamata dengan frame atas berwarna perak. Rambutnya memiliki jambul kecil di bagian depannya. Membuat garis wajahnya terlihat lebih tegas dan dewasa. Beberapa bintik bekas jerawat mengisi dahinya. Arial kini benar-benar bukan pria dengan seragam SMA lagi.

Pria berkacamata itu memelototi layar handphone-nya, nyaris tanpa satu kali pun kedipan. Beberapa menit setelah itu, sebuah pesan singkat masuk menerobos imajinasinya.

Assalamu’alaikum. Bgmn kabarmu, Ar? Aku dengar km sdh lulus dgn predikat mumtaz? Aku bangga skl pdmu, Ar. Salam utk keluargamu, dari aku dan Mahesya. Smg km segera pulang ke tanah air. Jgn lupa mampir ke rmhku ya kalau ke Bandung!

Dzaki.

            Arial tersenyum sambil menggamit handphonenya.

“Mahesya… Rasanya sudah lama sekali.” Arial bergumam. Matanya menerawang langit yang semakin oranye. Awan-awan seolah melukis wajah Mahesya dalam balutan kerudung oranye keunguan yang kalem. Arial buru-buru menghapus pikirannya dengan istighfar. Awan-awan di atas kepalanya seolah ikut berhamburan, membentuk formasi baru yang tidak bisa ditebak.

Pria dengan nama unik itu sudah mengkhitbah seseorang. Dia sudah tidak ingin mengingat-ingat Mahesya lagi. Atau pun Sarah yang sebenarnya sama sekali tidak pernah menerimanya sebagai pacar. Sarah tidak ingin pacaran karena ia tidak pernah diizinkan orang tuanya. Namun, Arial tidak bisa menghalangi perasaannya ketika masih SMP kali itu. Ia jatuh cinta pada Sarah. Namun Sarah pergi, tanpa bisa kembali lagi. Sarah meninggal dengan tumor otak yang menyebar hingga setengah tubuhnya tidak berfungsi lagi.

Arial memijat tengkuknya. Berusaha tidak termakan memori masa lalu.

Besok Arial pasti sangat sibuk dengan pengurusan paspornya. Beberapa minggu lagi, ia akan kembali ke Bandung. Rencananya ia akan membawa keluarga kecil dari calon istrinya yang tinggal tidak begitu jauh dari tepi Sungai Nil.

Arial memijit keypad-nya dengan tangan bergetar. Dia memang begitu tiap kali ingin mengabari sesuatu kepada calon istrinya.

Assalamu’alaikum. Insya Allah hari ini saya mau silaturahmi ke rumah. Dan ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan.

Pesan terkirim!

Tak lama kemudian handphone Arial kembali bergetar.

Oke! Keluargaku pasti sangat senang.

Senyum Arial mengambang. Dia selalu bahagia di saat-saat seperti ini. Calon istrinya bukan orang yang pandai bicara. Bahkan ia sama sekali tidak bisa bicara. Ya, dia bisu. Tapi, Arial berusaha mencintainya melewati cello yang hampir setiap malam ia gesekkan di depan rumah sakit. Ya, gadis bermata bulat waktu malam itu, ketika Arial dirawat di rumah sakit. Kali ini, Arial tidak terlambat lagi. Arial mampu mencuri hati gadis yang lima tahun lebih muda di bawahnya itu.

*

Mata biru itu sudah kehilangan beberapa persen cahayanya. Namun wajahnya tak lagi muram seperti minggu-minggu biasanya. Kali ini, senyumnya malah seolah tidak mau lepas dari bibir merah muda miliknya.

Mahesya kini menyadari ada yang berbeda dari hatinya.

Jika aku tidak mencintai, mengapa aku rindu? Jika aku masih patah hati, mengapa aku tidak menangis? Jika aku tidak rindu, mengapa aku menanti? Jika benar ini jatuh cinta, apa ini rasa yang dulu sempat aku rasakan?

Suara hatinya selalu berdengung mengisi ruam-ruam jiwa. Pipinya merona setiap kali pertanyaan itu mucul dalam benaknya. Tidak dapat Mahesya pungkiri lagi. Mahesya jatuh cinta pada suaminya sendiri. Dan kali ini, ia benar-benar malu ketika berpapasan di dalam rumah megah itu. Hingga beberapa saat, Mahesya memutuskan untuk mengunci diri di dalam kamar mandi. Menunggu Dzaki pamit ke masjid untuk sholat shubuh berjamaah.

Suara ketukan menyentaknya. Hawa dingin tiba-tiba menggerogoti ujung-ujung jari kaki dan tangannya.

“Sya, aku berangkat ke masjid dulu ya…”

Mahesya membeku sesaat. Dia bahkan mampu mendengar degup kencang jantungnya. Batinnya berbicara dalam diam, suara menenangkan itu… Sudah lama aku menantinya…

“I… iya, Kak.”

Beberapa menit Mahesya menunggu suara pintu ruang utama terbuka lalu tertutup – menandakan Dzaki telah keluar dari rumah. Dering ponsel Mahesya nyaring sekali. Membuat Mahesya kalang kabut sendiri untuk mematikannya, dan berlari-lari dari kamar mandi seperti orang kerasukan.

“Oh, Gina! Kamu mengagetkanku!” Mahesya geram sendiri dengan nama yang tertera di atas layar handphone-nya.

“Assalamu’alaikum! Aduh, kamu ini mengagetkanku saja!”

“Walaikumussalam. Hahaha… Maaf, Sya! Habisnya, kamu kemarin tidak menjawab teleponku. Emangnya lagi sibuk?” Suara di seberang sana terdengar gembira setengah mati. Namun, Mahesya tidak tahu penyebabnya.

“Enggak, Gin. Kemarin, Kak Dzaki mengajakku pergi ke taman. Ha…nya berdua.” Tiba-tiba wanita bule itu tergagap. Mahesya bahkan bingung mengapa ia harus mengatakan kalimat sebodoh itu. Suara di seberang sana berubah menjadi tawa nyaring yang memekikkan telinga. Mahesya bahkan harus menjauhkan handphone-nya dari telinga.

“Ah! Akhirnya aku bisa mendengar suaramu yang begitu lagi! Gagap ketika jatuh cinta! Seharusnya dari dulu kamu begini, Sya! Hahaha…” Gina tidak berhenti tertawa hingga beberapa menit. Mahesya menunggu hingga berubah menjadi kepiting rebus. Menahan malu yang seolah nyaris memecahkan ubun-ubunnya.

“Sudah ah, Gin! Kamu membuatku malu nih! Iya… aku akui, aku sudah jatuh cinta pada Kak Dzaki. Tapi, aku jadi malu menyapanya kalau di rumah!” Mahesya memainkan ujung seprei-nya. Lagi-lagi Gina terbahak hebat.

“Dia itu suamimu, Sya! Buat apa malu padanya, kalau kamu sudah banyak memproduksi anak?” Gina terbahak terus-terusan di seberang sana.

“Jangankan menyapa, kalian sudah melakukan sesuatu yang ‘spesial’ kan?” Gina menggoda sambil terus-terusan tertawa. Mahesya sudah tidak tahan lagi.

“Gina, can you silent, please…” Mahesya membenamkan wajahnya dalam bantal. Wajahnya terasa sangat panas. Ia bahkan mampu melihat wajahnya yang merah padam pada pantulan dirinya di cermin. Mahesya tidak pernah merasakan perasaan semalu ini.

“Oke… oke!” Gina mengatur napasnya, namun masih sesekali terkikik. Mahesya menunggu Gina tenang sambil senyum-senyum sendiri.

“Jadi… sebenarnya… ada yang mau aku beri tahu kepadamu. Tapi ini rahasia.” Suara di seberang sana berubah tegang. Mahesya menajamkan indera pendengarannya.

“Rahasia apa?”

“Ngg… anu…”

“Apa sih anu anu?”

“Aku… sudah dilamar, Sya.” Suara Gina terdengar lembut. Dapat Mahesya pastikan, Gina sedang senyum-senyum sendiri di sana. Mahesya bergeming. Mencerna, apakah Gina sedang serius atau sedang membuat lelucon.

“Jangan main-main deh, Gin.” Mahesya mendelik.

“Aku serius, Sya. Aku lagi enggak bercanda.”

“Siapa yang melamarmu?”

“Aku takut kamu marah…” Gina membiarkan suaranya menggantung. Jantung Mahesya terpacu untuk mengetahui, pria beruntung mana yang bisa mendapatkan hati Gina. Namun firasatnya berkata bahwa ia mengenal calon dari sahabatnya itu.

“Mengapa aku harus marah?”

“Karena kamu mengenalnya, Sya. Kamu mengenal dia.”

Mahesya terperanjat. Mencoba menebak satu persatu orang yang dikenalnya dan juga Gina, dalam hati. Hingga ingatannya berhenti pada mantan kekasihnya itu. Arial.

“A… rial?”

Gina menghembuskan napas. Keduanya merasakan lagi ketegangan masa SMA kali itu. Mahesya menunggu sambil mendengarkan hembusan napasnya sendiri, yang berhembus dua kali lipat lebih banyak dari biasanya. Gina masih membeku di ujung telepon.

“Kamu marah padaku, Sya?”

“Dia benar-benar melamarmu?” Mahesya tidak lagi sakit hati mendengar nama itu. Namun, rasanya aneh saja kalau harus melihat Gina dan Arial menjadi sepasang suami-istri. Dia membayangkan, bagaimana kecanggungan yang luar biasa menyelimuti mereka ketika berjumpa.

“Tentu saja tidak! Hahaha…” Gina tertawa dua kali lebih nyaring dari biasanya. Gina benar-benar puas menggoda Mahesya hari ini. Tubuh Mahesya bergetar. Ia sungguh-sungguh gemas pada sahabatnya itu. Bertahun-tahun bersahabat, Gina selalu sukses menjadikannya obyek lelucon yang ia buat.

“Awas ya! Kalau ketemu, aku kunyah kamu sampai jadi abon!”

“Hahaha… Kamu mau tahu enggak siapa yang sebenarnya melamarku?”

“Tidak mau! Kamu kan tukang bohong!” Mahesya medengus.

“Gerio. Dia yang melamarku. Dan aku menerimanya.” Gina tersipu-sipu. Mahesya terkapah-kapah.

*

Arial terbangun. Tubuhnya dingin, seolah ia baru keluar dari kulkas. Ia masih gemetaran. Buru-buru ia mencari handphone-nya, lalu mengubrak-abrik kontaknya. Jempolnya memijit keypadnya dengan gemetar. Arial menekan tombol 6 satu kali. Membuat huruf ‘M’ tercetak di atas layar, menyajikan semua kontak dengan semua huruf awal yang pria itu maksud.

Madi, Mae, Maggs, Mama Kantin, Mery, Mimi, Mukhlas R…

Bolak-balik ia mencari nama seseorang. Berharap ia melewati satu kontak di dalam sana. Sedetik kemudian, jari Arial beralih pada tombol 7. Ia menekannya sebanyak tiga kali. Membuat huruf ‘R’ tercetak di atas layar, menyajikan semua kontak dengan semua huruf awal yang pria itu maksud.

Rana R, Recca, Ridho, Rizhaldy, Rohis SMA…

Tidak ada! Tidak ada nama Metta, atau Rumetta. Nama itu yang sedang dia cari-cari. Setengah mati Arial berharap kejadian tadi bukan sekadar mimpi. Ia berharap benar-benar telah melamar gadis pemain cello itu. Tapi mengapa, nama itu tidak tercantum dalam daftar kontaknya?

Arial mendongak melihat jam dinding di atasnya. Hampir jam lima sore. Arial menyesal karena baru bangun di akhir waktu sholatnya. Buru-buru ia berlari ke tempat wudhu di dekat kamar mandi. Air segar khas kota Bandung menyegarkan otaknya yang berantakan. Setelah wudhu, ia sholat asar dengan khusyuk di dalam kamarnya yang syahdu.

Sholat asar sudah selesai Arial kerjakan. Setelahnya, pria jangkung itu menengadah. Begitu banyak pinta Arial pada Ilahi. Ia bahkan berharap mimpinya barusan menjadi nyata dalam hidupnya. Betapa ia berharap pada keputusan Allah, Tuhan pemiliknya. Betapa ia memohon agar dipilihkan gadis sholihah yang akan menjadi pendampingnya kelak. Arial benar-benar ingin menikah.

Masih ada waktu beberapa jam lagi menuju waktu maghrib. Arial mengambil mushaf Al-Qur’an mini, dan memasukkan ke dalam saku bajunya. Arial melangkahkan kakinya ke luar kamar.

Suasana sepi. Kosong melompong. Sudah dua hari ibu kandung Arial tidak pulang, untuk menjaga kakeknya yang sedang dirawat di rumah sakit. Kakak perempuannya, sedang menyelesaikan kuliah S2 semester akhirnya, di Bogor. Sedang ayah Arial, biasanya pulang larut malam.

Sungguh bukan keluarga yang harmonis. Masing-masing punya kesibukan yang entah dimana ujungnya. Arial bahkan bukan alasan spesial bagi keluarganya untuk ambil cutti barang sehari-dua hari. Arial sudah biasa dengan kondisi begini dari masih belum mengerti untuk apa ia hidup di dunia ini. Namun inilah yang dihasilkan dari kenikmatan dunia yang sangat melenakan. Rumah super megah nan angkuh, dengan tiang-tiang raksasa menjulang ke langit-langit. Namun sepi diisi angin hingga melempem.

Arial membuka pintu utamanya. Ia mendapati pria tua bungkuk yang sangat ia kenal. Pak Suhendra. Tukang kebun yang bibirnya selalu basah dengan hafalan Al-Qur’an. Pria tua itulah yang mengenalkannya pada Islam, setelah ia putus dari Mahesya. Pria tua itulah yang kadang lebih ia anggap sebagai orang tua yang seratus persen peduli pada kehidupan akhiratnya kelak.

Ketika hendak menyapa, Pak Suhendra sedang menyapu pekarangan rumahnya yang ditumpuki daun-daun coklat kering. Ia sedang serius mengulang hafalan surah Ar-Rahman, sampai-sampai tidak sadar ada seorang Arial di belakangnya. Arial pun segan untuk mengganggu.

Arial keluar dari gerbang rumahnya yang berwarna hitam mengilap. Arial             memutuskan untuk pergi ke cafe di depan kompleknya dengan berjalan kaki. Cafe itu baru buka beberapa minggu yang lalu. Lokasinya sangat strategis, karena berhadapan langsung dengan matahari terbenam.

“Selamat sore, Kak. Ada yang bisa kami bantu?”

Seorang pelayan cafe menyapanya di depan pintu, seraya menyodorkan menu yang dipahat di atas kayu ulin berwarna coklat tua. Pria di hadapannya itu memiliki wajah bulat dengan tubuh yang gempal. Namun senyumnya persis dengan penyanyi bernama Tulus. Arial baru menyadari, bahwa cafe ini dibangun dengan percampuran aksen Meksiko dan Indonesia. Sungguh brilian!

“Minuman andalan di sini ada apa aja, Mas?” Arial masih membaca menunya.

“Kami punya Espresso Madu-Jahe, sebagai menu dalam negeri. Dan Espresso Glazzed Caramell, sebagai menu luar negeri.”

“Kalau menu yang bukan kopi ada, Mas?”

“Kita ada Teh Tarik, Teh Ekstrak Buah, Teh Hangat Yogya, dan menu teh yang lainnya.” Pria dengan name tag “Genta” itu, menyodorkan menu lain di tangannya. Kali ini, menunya dipahat di atas kayu yang berwarna lebih pucat dan tidak mengilap. Tapi ada ukiran-ukiran batik berwarna hitam di bagian pinggirnya.

“Saya pesan Teh Ekstrak Buah saja.” Arial mengembalikan menunya.

“Maaf, Kak. Ekstrak buahnya dipilih dulu.”

“Pepaya.” Arial menyebut asal. Namun terdiam sejenak, ketika menyadari bahwa itu adalah buah kesukaan Mahesya.

“Baik. Kita akan mengantarkan dalam kurun waktu kira-kira tiga menit ya, Kak. Silahkan masuk!” Genta membukakan pintu cafe. Aroma kopi dan roti menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Sepertinya suhu cafe ini sudah diatur terlebih dulu oleh pemiliknya. Tidak dingin, tidak juga panas, namun hangat.

Arial duduk di bangku yang paling dekat dengan kaca etalase, yang langsung menghubungkannya dengan matahari yang semakin oranye. Ia mengeluarkan mushaf kecilnya. Membacanya hingga pesanannya datang lebih dari tiga menit. Bisa jadi hampir tujuh menit. Wajarlah, mungkin karena cafe baru dan lumayan banyak pembeli.

Arial menyesap teh ekstrak pepaya miliknya. Aroma pepaya mengisi ruang-ruang penciuman dan indera perasanya. Dalam waktu singkat, hangat menyelimuti aliran darahnya. Uap panas membuat kaca matanya berembun. Arial memutuskan untuk melepas kaca matanya sesaat. Pandangan berubah buram. Ia melihat segalanya berbayang-bayang. Namun ia tetap menikmatinya.

Teh-nya tinggal sedikit lagi. Namun Arial urung untuk menghabiskannya terlalu cepat. Ia mendapatkan ketenangan di sini. Secara tiba-tiba ia merasakan atmosfer lain yang mengalir dalam tubuhnya. Atmosfer ini masih kalah dengan atmosfer yang ia rasakan ketika sholat dan mengaji. Namun, ini benar-benar membuatnya nyaman. Hingga membuat Arial betah berlama-lama di dalam sini.

Arial tidak sadar ada seorang gadis yang memerhartikannya dari jauh. Gadis yang ia taksir setengah mati ketika di Kairo. Gadis bemata bulat yang ia ajak berkenalan pada hari itu. Gadis yang lima tahun di bawahnya, dan memiliki darah campuran Indonesia-Meksiko. Gadis yang ingin belajar Islam lebih dalam ketika ayahnya mengajaknya masuk Islam, dan pindah kota ke Kairo. Gadis bisu yang menginspirasi banyak hal dalam hidupnya. Gadis berambut hitam pekat – sepunggung yang berbicara dengan gerakan-gerakan isyarat yang sulit untuk Arial pahami. Gadis pemain cello setiap malam di rumah sakit untuk almarhum ibunya, yang meninggal beberapa tahun silam di rumah sakit itu. Gadis mungil yang kini mengenakan kerudung panjang sepaha warna hitam, sepadan dengan gamis lebarnya. Gadis yang tidak sempat ia raih dalam tumpukan mimpi-mimpinya.

Pria berjambul kecil itu tidak menyadari, apa nama cafe itu. Padahal sudah tercetak jelas di pinggir piring kecil sebagai alas cangkirnya. Rumetta Cafe. Bukankah itu nama yang setengah mati ia cari dalam kontaknya? Mengapa Arial tidak menyadari bahwa ia sedang menikmati rekaman suara cello yang pertama kali ia dengan di rumah sakit waktu itu? Only Human milik Susumu Oeda. Mengapa Arial tidak membaca tulisan tegak bersambung yang tercetak pada dinding di depan matanya?

Kita berhak berusaha agar mulia. Ada pertemuan dan perpisahan beratus kali dalam hidup. Kita tidak pernah tahu apa yang tertulis dalam Lauhul Mahfudz. Bahkan merabanya sekali pun, kita tak punya kuasa atas itu. –Rumetta Maryam

Adzan maghrib berkumandang. Arial menghabiskan sisa teh miliknya. Buru-buru ia memasang kaca matanya. Gelasnya tersenggol, nyaris jatuh dari atas meja kayu berwarna putih mengilap di hadapannya. Arial terpaku beberapa detik. Ia membaca tulisan di atas piring kecil itu.

Rumetta Cafe.

Pandangannya ia lempar ke seluruh ruangan yang hanya diisi dengan beberapa sisa pembeli. Ia kini sadar, tadi ia sempat mendengarkan gesekkan cello itu. Tapi kini ia sudah kehilangan suara merdu itu.

Apa itu hanya perasaanku saja? Kamu pikir, ada berapa banyak nama Rumetta di dunia ini, Arial? Apa itu benar suara cello miliknya?

Batin Arial terus-terusan berdebat. Hingga matanya berpapasan dengan sepasang bola mata bulat itu. Lalu pemiliknya buru-buru masuk ke dalam ruangan dengan tulisan ‘DILARANG MASUK SELAIN KARYAWAN’. Arial kenal betul siapa pemilik mata bulat persis dengan anime Jepang itu.

Jantung Arial melompat-lompat riang. Tidak bisa ia gambarkan lagi perasaannya saat itu. Lebar-lebar kakinya melangkah ke luar cafe. Arial segera mencari masjid di dalam komplek rumahnya. Ada satu hal yang belum Arial sadari. Secangkir senja hari ini adalah untuknya. Untuk Arial. Arial Sore.

Kali ini tidak akan lepas, Rumetta. Aku berjanji akan melamarmu selepas maghrib.[] Selesai.

Tinggalkan komentar